Terlahir dengan nama Bendara Raden Mas (BRM) Herjuno Darpito pada tanggal 2 April 1946 di Yogyakarta, kemudian menghabiskan sepanjang hidupnya di kota yang ia cintai, Sri Sultan Hamengku Buwono X tumbuh menjadi pribadi yang sangat dekat dengan kota dan rakyatnya. Setelah dewasa beliau ditunjuk oleh ayahandanya sebagai Pangeran Lurah atau yang dituakan diantara semua pangeran di Keraton Yogyakarta. Mas Jun, begitu beliau biasa disapa pada saat muda, kemudian diberi gelar Kanjeng Gusti Pangeran Harya (KGPH) Mangkubumi.
Sebelum bertakhta sebagai Sultan Yogyakarta, KGPH Mangkubumi sudah terbiasa dengan pelbagai urusan di pemerintahan. Beliau sering diminta membantu tugas-tugas ayahandanya, Sri Sultan Hamengku Buwono IX, yang saat itu menjabat sebagai Wakil Presiden Republik Indonesia. Selain itu, KGPH Mangkubumi sendiri juga aktif di berbagai kegiatan sosial kemasyarakatan. Beberapa jabatan yang pernah beliau emban diantaranya sebagai Ketua Umum Kadinda DIY, Ketua DPD Golkar DIY, Ketua KONI DIY dan Presiden Komisaris PG Madukismo.
Pada tanggal 2 Oktober 1988 Sri Sultan Hamengku Buwono IX wafat. KGPH Mangkubumi kemudian menjadi calon paling tepat untuk menjadi Sultan berikutnya. Proses suksesi ini menjadi hal yang baru dalam sejarah Keraton Yogyakarta. Pada era sebelumnya, setiap Sultan yang akan dilantik harus mendapat persetujuan dari Belanda.
Sesaat sebelum dinobatkan, KGPH Mangkubumi mendapat gelar Kanjeng Gusti Pangeran Arya Adipati Hamengku Negara Sudibyo Raja Putra Nalendra Mataram yang bermakna sebagai putera mahkota. Setelah itu, baru kemudian secara sah beliau dinobatkan sebagai Sultan di Keraton Ngayogyakarta Hadiningrat pada tanggal 7 Maret 1989 atau Hari Selasa Wage, tanggal 29 Rajab 1921 berdasarkan penanggalan Tahun Jawa.
Menjadi Gubernur Daerah Istimewa Yogyakarta
Setelah Paku Alam VIII wafat, dan melalui beberapa perdebatan, pada 1998 ia ditetapkan sebagai Gubernur Daerah Istimewa Yogyakarta dengan masa jabatan 1998-2003. Dalam masa jabatan ini Hamengkubuwana X tidak didampingi Wakil Gubernur. Pada tahun 2003 ia ditetapkan lagi, setelah terjadi beberapa pro-kontra, sebagai Gubernur Daerah Istimewa Yogyakarta untuk masa jabatan 2003-2008. Kali ini ia didampingi Wakil Gubernur yaitu Paku Alam IX.
Sebagai Gubernur Daerah Istimewa Yogyakarta, ia tidak menguber penghargaan dan piagam pengakuan. Menurutnya, peradaban kota memerlukan sentuhan kasih dan hati nurani
“Kota kita tidak memerlukan kata pujian yang berlebihan. Dia hanya perlu sentuhan kasih dari hati nurani kita.” (Kutipan dari Monumen Tapak Prestasi, Yogyakarta)